Islam di Asia Tengah terbelit Kemiskinan dan Murtad Demi Setengah Karung Gandum,
Perang sipil di Tajikistan menghasilkan dua hal yang saling berlawanan. Di satu sisi, negara ini menjadi republik mandiri yang merdeka. Tapi di sisi lain, kemiskinan menyelimuti negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini. Dan, persoalan klasik pun muncul; kemiskinan dijadikan 'senjata' untuk mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya. Para misionaris dengan didanai lembaga misi internasional menyebar diri ke berbagai wilayah untuk menawarkan doktrin agamanya.Imbalannya pun 'menggiurkan'; keterbebasan dari lilitan kemiskinan. "Bagi mereka yang keimanannya tidak kuat, maka demi setengah karung gandum, dia akan rela menjual agamanya. Dan demi sekarung gandum, bisa saja besok hari dia pindah agama," ujar tokoh Muslim Tajikistan, Abdullo Hakim Rahnamo. Sejak beberapa tahun belakangan, kegiatan misionaris makin menggeliat. Mereka misalnya, datang dari organisasi Kristen yang berbasis di Korea, Amerika Serikat dan negara lainnya. "Hal itu memang menjadi masalah besar bagi masyarakat kami," keluh profesor ilmu sosial di Universitas Nasional Tajikistan ini. Lebih jauh dikatakan, dalam menghadapi persoalan itu, umat Muslim di sana menemui dilema.
Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi azas kebebasan menjalankan agama; tapi di sisi lain, ada keinginan untuk memelihara stabilitas dan keamanan nasional. Betul, telah muncul reaksi negatif dari sejumlah anggota masyarakat dan tokoh agama menanggapi tindakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang terkadang sangat agresif. Namun seruan mereka tak bergaung. Negara, secara langsung atau tidak, kini bergantung pada negara asal para misionaris itu. Sehingga, meski ada 'payung' hukum yang melarang penyebaran agama pada masyarakat yang beragama, gerakan misionaris tetap tak tersentuh. Biasanya di waktu malam, orang-orang dari kelompok itu tanpa basa basi menempelkan selebaran dan poster di sekeliling kota. Masyarakat tidak bisa melarang 'aktvitas keagamaan' mereka itu. "Namun diharapkan semenjak masalah ini telah dibahas di tingkat yang lebih tinggi, mudah-mudahan dapat diperoleh solusi terbaik bagi pemecahannya," ujarnya lagi.
Ghirah tinggi saat perang sipil
Menurut Rahmano, sebetulnya usai pertikaian sipil, umat Islam mempunyai 'modal' untuk berkembang lebih baik. Saat itu, umat sangat solid dan tumbuh pesat. Indikator terbaik untuk mengetahui bagaimana Islam telah bertumbuh pesat di negara itu adalah keterkaitan kaum muda dengan agama mereka. Dia melihat, pada antara tahun 1980 sampai 1990-an, ghirah (semangat keagamaan) kaum muda yang berada di kota Dushanbe, Khojand, dan Kurgan Tyube terhadap syiar Islam, amatlah tinggi. "Sebelum perang sipil meletus, kami sudah merasakan bahwa terhadap keterkaitan erat antara para pemuda dan Islam.
Mereka sangat bersemangat menggali nilai-nilai keislaman dalam kegiatan pengajian yang kerap mengundang tokoh agama untuk memberikan ceramah,'' ujarnya. Akan tetapi, Rahnamo justru menilai, jika dibandingkan periode tadi dengan sekarang, perhatian kaum muda pada agama sudah berkurang. Ada tiga faktor ditengarai menjadi penyebab. Pertama, selama perang sipil, Islam terlibat dalam konflik bersenjata. Ini jelas membawa efek negatif secara psikologi. Faktor kedua yakni kondisi sosial perekonomian saat ini yang kurang menggembirakan. Masyarakat pada akhirnya akan lebih berkonsentrasi bagaimana agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengakibatkan agama sedikit terabaikan.
Sedangkan faktor ketiga berhubungan dengan peran para tokoh dan cendekiawan Muslim. "Ketika umat tidak memiliki cendekiawan Muslim dan tokoh berpendidikan yang memahami perkembangan modern, maka akan sulitlah untuk memenuhi harapan kaum muda yang selalu ingin mengembangkan pemikiran keagamaan mereka," tutur Rahnamo. Meski begitu, bukan berarti pengajaran agama Islam di Tajikistan lantas meredup. Sebaliknya, berdasarkan hasil penelitiannya, Rahnamo melihat fenomena tumbuhnya pusat-pusat pembelajaran agama di beberapa wilayah. Disebutkan, antara lain di kawasan utara, tepatnya di kota Isfara, kini telah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam. Demikian pula Mastchah. Sementara di tenggara, yakni kota Duchanbe, Kofarnikhon (Vahdat), Qarotegin, Fayzabad. Di selatan adalah kota Kulyab dan Kurgan-Tyube. Sebagian besar pusat-pusat pengajaran tersebut dilaksanakan secara tradisional.
Pasang surut perkembangan
Islam memiliki sejarah panjang di kawasan Asia Tengah, termasuk Tajikistan. Agama yang disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW ini, telah hadir di sana sejak abad ke-7 melalui para pedagang Arab. Sejak saat itulah, Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Asia Tengah. Saat ini, dari 6 juta penduduk Tajikistan, 90 persennya adalah Muslim. Dari jumlah itu, 85 persen merupakan Muslim Sunni dan tiga persen adalah Ismaili. Kebanyakan mereka tinggal di wilayah Gordo Badakhshan. Meski berbeda aliran, namun antara penganut Sunni dan Ismaili tidak pernah terjadi pertentangan. Keduanya hidup berdampingan secara damai serta kerap mengadakan kegiatan keagamaan bersama. Tercatat, ada sekitar 3.082 masjid di seantero Tajikistan. Jumlah ini belum terhitung dari masjid yang dikelola oleh muslim Ismaili. Penganut Kristen berjumlah 235 ribu jiwa yang berasal dari etnis Rusia dan imigran. Mereka sebagian besar adalah penganut Kristen Ortodok serta sejumlah kecil Kristen baptis, Katolik Roma, Advent, Protestan, Lutherian dan Saksi Jehovah.
Di samping itu, masih ada pemeluk agama dan kepercayaan yang lain. Di antaranya Baha'is, Zoroaster, Hare Krishna, serta Yahudi. Aliran Islam Sunni mengawali pengaruhnya di Asia Tengah, termasuk penduduk Tajik, sejak 1.200 tahun lalu. Sedangkan dalam intensitas yang lebih kecil dan menjangkau masyarakat minoritas, pengaruh Ismaili juga menjejakkan langkah pada awal abad ke-10. Perkembangan Islam di negara ini pun mengalami pasang surut. Masa paling suram terjadi selama hampir tujuh dekade ketika rezim komunis Soviet menguasai sebagian besar wilayah Asia Tengah. Kampanye anti Islam mengemuka dari tahun 1920 hingga akhir 1930-an sebagai bagian propaganda anti agama secara keseluruhan. Saat itu, ribuan pemuka Muslim terbunuh dan kehidupan beragama diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Namun setelah invasi Jerman ke Uni Soviet tahun 1941, kebijakan terhadap Islam menjadi lebih moderat. Salah satu perubahan itu yakni diaktifkannya lagi Dewan Muslim Asia Tengah setelah lembaga ini sebelumnya dibekukan oleh Kremlin. Pada awal tahun 60-an, rezim Nikita Khrushchev kembali meningkatkan eskalasi propaganda anti Islam.
Hal itu kemudian berlanjut hingga tahun 70 dan 80-an. Para pemimpin Kremlin silih berganti menyerukan perlunya pembaruan upaya untuk memerangi agama, khususnya Islam. Upaya tersebut meliputi; pengalihan fungsi masjid guna keperluan sekular, pemaksaan untuk meninggalkan identitas, tradisi dan cara pandang Islam, dan peningkatan propaganda bahwa Islam adalah agama terbelakang, percaya tahyul, dan identik dengan kebodohan. Serangan bersenjata terhadap umat Islam mulai merebak tahun 1979 seiring kampanye militer Soviet ke Afganistan serta munculnya gerakan perlawanan di sejumlah negara Asia Tengah. Konflik terus berlanjut hingga setelah runtuhnya rezim komunis Soviet. Akhir tahun 1989, rezim Gorbachev berusaha meningkatkan toleransi antar umat beragama. Kebijakan ini kontan disambut gembira oleh para penganut agama. Kegiatan religius pun meningkat. Sejumlah masjid baru dibuka. Para juru dakwah dapat memulai lagi aktivitasnya dan mulai menyebar ke seantero negeri.




0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda